[FF-Yaoi] Inside, a Vampire Knight Fanfiction KanamexZero

Title: Inside

Cast: Kaname, Zero, Ichiru, Yuuki, other VK’s chara

Pairing: KanamexZero, IchiruxZero, KanamexYuuki

Disclaimer: I didn’t own the chara(s). If I did, I’ll make sure that Kaname will be marrying Zero XD

Rating: T

Genre: Yaoi | Romance, gender-bender, school life, semi-canon

Warning: AT/AR. PWP (? bisa dikatakan begitu, tapi nanti ya..). Yaoi, Smut, hardcore(?), containing BoyxBoy so don’t read if you feel unpleasant.
MPREG (?lihat nanti deh ya…). GAJEness. OOCness. Don’t blame the chara.

Summary: Apa? Ia pun tak pernah mengira jika akhirnya akan seperti itu. Dalam sadar atau tidak, tak pernah sekalipun kejadian seperti itu ia pikirkan. Terlintas di kepalanya barang beberapa detik pun tak pernah, jadi bagaimana caranya ia bisa menjelaskan keadaannya itu sekarang? Meski memang apa yang ia harapkan adalah berdamai dengan keturunan darah murni itu, tapi tak pernah sekalipun ia memikirkan akan jadi seperti ini. Dan untuk alasan lain, di lain pihak, Kaname merasa memang benar begitu adanya. Ia melakukan sesuatu yang harusnya ia lakukan sejak ia bertemu dengan pemuda mantan hunter itu. Karena, hanya dengan cara seperti itulah rasnya tak akan pernah binasa.


Dua pemuda itu bergelut serius. Pertarungan yang sengit namun tak sesengit yang terlihat. Yang satu melepaskan jurus-jurusnya dengan kecepatan yang tinggi, sedang yang lain hanya mencoba untuk menghindari tiap serangan yang tertuju padanya.

Di tangan pemuda yang bertahan itu, bertengger sebuah pistol khusus yang selalu dibawanya, bertuliskan Bloody Rose. Satu-satunya pistol yang mempan untuk membunuh para vampir. Ia mencari waktu yang tepat untuk menembakkannya, namun tak berniat untuk membunuh musuhnya.

Dua orang tersebut, seorang vampir dan ex-hunter, beradu di malam itu di sebuah ruang kamar, tepatnya di ruangan sang vampir keturunan darah murni tersebut.

Keduanya masih saling bertarung. Bertahan dan mencoba untuk menjadi sang pemenang. Dengan kecepatannya, sang vampir memepet tubuh sang ex-hunter ke dinding yang telah retak. Tangannya terjulur di leher pemuda ex-hunter itu, siap untuk mencekiknya.

“Kau…” kata vampir itu. Menatap tajam pada sang ex-hunter yang kini tepat berada di depannya. Tatapan nyalang menantang sebagai respon dari sang ex-hunter pun diterimanya. Bloody Rose telah bertengger indah di leher kiri sang vampir, siap untuk ditembakkan.

“Padahal seorang vampir, nalurinya akan mengaturnya untuk menghormati vampir keturunan darah murni…” katanya lagi. Tatapan matanya melunak pada sosok di depannya walau cengkraman di leher itu kian menguat. Meskipun begitu, sang ex-hunter menyembunyikan kesakitannya. Ia hanya menatap musuhnya datar.

“Tapi, kau—malah menunjukkan taringmu padaku,” lanjutnya. Kini tatapannya telah kembali tajam seperti sedia kala. Ia siap melepaskan jurusnya lagi.

“Aku benar-benar membencimu.”

Ia mendorong keras sang ex-hunter itu, menyebabkan dinding tempat lawannya bersandar akhirnya berlubang. Seketika itu juga, sebuah tembakan dilayangkan. Namun sayang, meleset. Peluru itu hanya mengenai sedikit bagian kiri pelipis sang vampir.

Tubuh pemuda ex-hunter itu terpental ke belakang melewati dinding. Ditangkap sebuah bak mandi dalam ruangan yang kini mereka tempati. Pemuda vampir menyusulnya sepersekian detik kemudian, langsung mengklaim leher sang ex-hunter dengan tangannya. Dengan cekatan, pemuda mantan pemburu itu mengarahkan pistol yang dipegangnya sejak tadi ke kepala sang vampir. Tepat di tengah-tengah dahinya.

Aroma anyir darah terkuar di udara. Pelipis kiri vampir muda yang entah berusia berapa ratus tahun itu mengeluarkan cairan kental. Walau tak banyak tapi cukup untuk membangkitkan sisi monster yang ada pada diri ex-hunter.

Pemuda bersurau perak itu tercekat. Terlihat perubahan warna matanya, menjadi merah semerah darah yang dikeluarkan. Tubuhnya mulai memanas tanda nafsu monsternya mulai bangkit perlahan.

Tentu saja vampir itu melihatnya. Ia tahu bahwa pemuda di depannya pasti akan sangat tersiksa karena hal ini.

“Bukankah kau telah mengetahui akan menjadi apa kau sebenarnya? Jika aku membiarkanmu sekarang, aku yakin nafsu vampirmu itu akan melumpuhkanku seketika dan menyesap seluruh darah yang ada pada dalam diriku,” ejek vampir itu.

Di depannya sekarang, nampak sangat merana sekali pemuda yang dijuluki ex-hunter itu. Ia menatap tajam ke bawah. Semakin lama warna merah di matanya semakin kentara. Nafasnya mulai tersengal menuntut hasrat yang harus segera dipenuhi.

Bukan maunya untuk berubah menjadi seperti apa yang baru saja dikatakan vampir keturunan darah murni tersebut. Ia pun tak mau dan tak akan mengakui jika dirinya kemudian akan berubah menjadi seorang monster. Ia tahu betapa buruknya menjadi seorang monster dan betapa sadisnya hukuman yang akan diterimanya nanti.

Maka dari itu, dengan sisa-sisa kesadarannya, ia berusaha mati-matian menahan hasratnya. Nafsu yang telah membuncah sampai ke kepalanya. Jika saja ia tak ingat siapa yang kini tengah ia hadapi, mungkin saat ini sisi vampirnya telah memenangkan raga yang ia tinggali. Mengoyak tubuh di depannya dengan sangat amat sadis. Menghisap seluruh cairan kental berwarna merah dan anyir itu sampai tak tersisa setetespun. Melakukan apa yang diperintahkan oleh sisi jahatnya tersebut dengan senang hati.

Ia mengepalkan tangannya. Mengerang tertahan melawan dirinya yang lain.

Sang pure-blood itu tersenyum licik—menyeringai tepatnya. Melihat seberapa keras usaha yang dilakukan lawannya menghadapi perang dalam dirinya. Perang batin yang hanya bisa dirasakan pemuda itu sendiri. Perang batin yang akan menentukan nasibnya kemudian. Ah, bahkan meski pure-blood itu bisa membaca pikiran orang lain, ia tak mampu menembus bagaimana persisnya perang batin tersebut berlangsung.

Oleh karenanya, vampir keturunan darah murni itu hanya mampu melihat dalam diam. Dilonggarkannya cengkeraman di leher pemuda bermata merah di depannya. Tentu saja ia juga memeriksa kondisi luka ringan pada pelipis kirinya itu.

“Ceh… bahkan luka sekecil inipun mampu membangkitkan jiwa gelapmu. Tak kusangka cepat sekali monster itu berkembang dalam tubuhmu. Dan aku bahkan tak pernah memikirkan kalau monster itu bahkan tak mau menghormati keturunan darah murni,” gumam vampir muda bersurai cokelat tua itu, masih dengan seringaian di wajahnya.

Zero, sang pemuda ex-hunter itu, mengerang menahan hawa nafsunya akan darah. Ia tahu alam sadarnya akan segera hilang tergantikan dengan monster yang ada dalam tubuhnya. Dan Kaname, sang pureblood lawan tandingnya tadi, mengetahui hal tersebut.

“Apa kau benar akan menolak tawaranku kali ini, Zero?” tanya Kaname serius. Ia memandang tajam pemuda di depannya. Menyaksikan bagaimana monster dalam tubuh itu mulai beraksi.

“Tid-dak.. akan.. kh.. per-nah!” jawab Zero dengan susah payah. Monster itu membuat kerongkongannya kering. Mata merahnya menyiratkan kehausan akan darah.

“Dengarkan aku sekali ini. Aku mungkin tak akan mengatakan hal sama kepadamu lain kali. Kau tahu bahwa kau butuh darah sekarang ini…” tutur Kaname.

Zero kembali mengerang. Ia menggenggam Bloody Rose itu kuat dengan tangan kanannya,sedang tangan kirinya memegangi lehernya yang terasa sangat kering.

Kaname yang menyaksikan hal itu mulai merasa bahwa ini adalah saatnya. Saat di mana ia harus memberikan darahnya kepada ex-hunter itu. Saat di mana ia akan dapat memiliki ex-hunter itu. Maka ia mendekat pada pemuda yang sedang kesakitan tersebut.

“Kau… butuh darahku, Kiryuu,” katanya dan ia mulai membuka kancing teratas kemejanya. Menyibakkan rambut dan kemeja yang menutupi leher itu. Menampakkan bagian tubuhnya yang putih bersih tanpa cacat, yang tak pernah tersentuh dan terlihat oleh siapapun.

Zero memandang leher itu. Hasrat monsternya membuatnya dapat merasakan bagaiamana rasa darah dalam diri sang pureblood itu. Ia dapat membayangkan saat ia mulai menancapkan taringnya ke daging di sana. Merobek kulit pembungkus pembuluh darah minumannya kemudian menyesap cairan merah kental itu. Cairan yang demi apapun semua vampir pasti akan berebut mendapatkannya.

Dan tanpa sadar, keduanya mendekatkan tubuh mereka. Menyatu membenturkan masing-masing bagian tubuh mereka dengan lembut. Kedua bibir itu bertaut.

Kaname menyesapnya lembut. Tangannya melingkar di pinggang Zero. Sedangkan Zero, menikmati pelukan itu dengan semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh keturunan darah murni itu. Maka Kaname pun mengeratkan pelukannya.

Mendesah, Zero mengalungkan lengannya di leher Kaname. Membuat Kaname semakin keras menekan tengkuk Zero supaya ia bisa lebih puas memainkan bibir ex-hunter itu. Tentu saja dengan sekali gigitan kecil pada bibir itu, membuat Zero mengerang dan saat itulah Kaname memasukkan lidahnya. Menjelajah seluruh isi yang ada di dalam sana.

“Nngh…” lenguh pemuda bersurai perak itu, tanda protes karena Kaname menyudahi persatuan bibir mereka.

Kaname menyeringai. Di depannya kini, pemuda yang setiap harinya itu memandang sinis padanya, kali ini menampakkan wajah pasrah di sana. Bibirnya yang sedikit terbuka dengan semburat merah di kedua pipinya membuat Kaname ingin segera menerjangnya kalau ia tidak ingat apa yang menjadi tujuan utamanya.

Dengan masih menyeringai, mengetahui bahwa sang perak masih tak terpuaskan, ia pun kembali memberikan bibirnya. Tentu saja zero menerima dengan senang hati. Namun, apa yang tak ia ketahui bahwa vampir pureblood itu mengambil Bloody Rose yang sejak tadi bersemayam dalam genggaman Zero dan dengan sangat hati-hati Kaname membuka kerah bajunya sendiri untuk kemudian di tunjukkan pada Zero setelah ia menambah robekan kecil yang ada di pelipis kirinya.

Bau darah yang semakin banyak mengumbar di udara tercium oleh indera Zero dan kembali membangkitkan nafsu monsternya. Kaname yang mengetahui itu akan terjadi, segera membawa kepala Zero ke arah lehernya. Dan mau tak mau, Zero dapat mencium aroma manis dari darah sang pureblood itu.

Merasakan rasa terbakar di sekujur tubuhnya dan kering di kerongkongannya, Zero mencengkeram baju belakang Kaname dengan kedua tangannya. Ia mengerang. Memprotes apa yang telah dilakukan Kaname.

“Minum dan kau tak akan merasakan rasa sakit itu lagi, Zero…” bisik Kaname penuh penekanan pada tiap katanya.

Zero, yang memang telah tak bisa menahannya lagi, akhirnya mulai mendekati leher putih tanpa cacat milik vampir keturunan darah murni tersebut. Sejenak ia menghirup bau yang ditimbulkan. Lalu dengan yakinnya, ia mulai menancapkan taringnya di sana.

Kaname meringis kala taring Zero menembus kulit lehernya dan menghisap darahnya.

Bunyi seruputan itu terdengar di seluruh penjuru ruangan. Baik Kaname maupun Zero hanya bisa terdiam atas kegiatan mereka.

“Ingatlah dari mana darah ini berasal, Zero. Ingatlah siapa yang memberi darah ini”


Di lain tempat, pada waktu yang sama, Yuuki terbangun dari mimpinya.

Matanya membelalak dan napasnya terengah. Dalam keadaan itu hanya satu orang yang terlintas di pikirannya. Satu nama yang terpatri dengan jelas di pikirannya.

“Zero…,” bisiknya lirih.


Dicopas dari akun FFN saya. Kalau memang merasa ada yang sama atau udah pernah baca, ya memang itu asalnya.
CERITA INI MURNI MILIK SAYA!!!

Tinggalkan komentar